Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Batu Ratapan Angin Dieng Plateu


Batu Ratapan Angin Dieng Plateu
image : flickr.com

Media Travelling- Dataran tinggi Dieng merupakan sebuah kawasan yang dahulu kala adalah daerah gunung berapi. Namun kawasan gunung tersebut sekarang ini sudah tidak aktif lagi. Akibat dari letusan gunung berapi pada masa lalu tentu saja banyak meninggalkan bekas dan jejak - jejak vulkanik. Jejak tersebut dapat kita lihat sekarang ini seperti bukit - bukit yang ada di dataran tinggi Dieng maupun banyaknya batu - batuan besar yang bertebaran di sana dan juga tebing yang bentuknya tidak beraturan. Namun, di balik itu semua ternyata jejak - jejak vulkanik masa lalu tersebut terlihat sangat artistik , menarik dan juga indah. Jejak vulkanik tersebut juga dapat kita lihat pada salah satu kawasan wisata yang cukup mempesona yaitu batu ratapan angin.

Batu ratapan angin letaknya berada di atas dari telaga warna. Batu ratapan angin terdiri dari dua buah bongkahan batu dalam ukuran yang sangat besar yang berjejer berdampingan satu dengan lainnya. Lokasi batu ratapan angin pun masih berada di sekitar Dieng Plateu Theatre, yang menjadi salah satu tempat favorit bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam telaga warna yang sangat indah.

Seumpama sebuah lukisan di atas kanvas, maka keindahan telaga warna Pengilon jika kita lihat dari bukit ratapan angin ini adalah sangat sempurna dan sangat indah. Dari sana anda dapat merasakan hembusan dan desiran angin yang berhembus melewati batu ratapan dan terkadang menimbulkan suara - suara mendesis laksana orang yang sedang mengalami kesedihan dan meratapinya. Mungkin karena desisan angin inilah yang membuat orang akhirnya menamakan kedua buah batu tersebut sebagai batu ratapan angin.

Seperti tempat - tempat lain dimana keberadaan sebuah tempat seringkali berhubungan dengan sebuah cerita rakyat atau legenda yang terjadi di masyarakat pada masa lalu. Pun halnya dengan batu ratapan angin ini juga di kaitkan dengan sebuah cerita yang berkembang di masyarakat pada masa lalu dan di percayai oleh masyarakat di kawasan Dieng tersebut sampai dengan sekarang.

Batu Ratapan Angin Dieng Plateu
image : flickr.com
Menurut cerita, pada masa lalu hiduplah sepasang pangeran dan seorang putri yang menjadi pasangannya. Mereka hidup dengan rukun, damai dan sangat berbahagia, sehingga menjadi perbincangan dimana - mana. Pasangan tersebut bahkan menjadi teladan bagi masyarakat pada waktu itu.

Namun kebahagian pasangan tersebut lambat laun mulai terusik. Hal tersebut di akibatkan oleh hadirnya orang ketiga dalam hubungan mereka. Sang putri yang tadinya sangat setia akhirnya mulai tergoda dan melakukan pengkhianatan dan perselingkuhan. Sang putri mulai sering berbohong untuk menutupi apa yang sudah di perbuatnya tersebut.

Dan sepandai - pandainya sang putri menyimpan dan menutupi perbuatannya rapat - rapat pada akhirnya akan ketahuan juga. Kabar perselingkuhan tersebut akhirnya sampai ke telinga sang pangeran. Kemudian secara diam - diam sang pangeranpun akhirnya melakukan penyelidikan dengan di bantu oleh beberapa orang pengawalnya.

Penyelidikan sang Pangeran ternyata tidak sia - sia. Pada suatu ketika sang pangeran menyaksikan secara langsung dengan mata kepalanya sendiri dimana sang putri pasangannya sedang memadu kasih dengan kekasihnya di sebuah hutan sebelah atas dari telaga warna.

Kedatangan sang pangeran yang tiba - tiba membuat sang putri sangat terkejut. Mereka akhirnya terlibat dalam percekcokan yang sangat sengit. Sang putri meratap dan memohon maaf atas kesalahan yang telah di lakukannya. Tetapi di luar dugaan kekasih gelap dari sang putri ternyata malah ingin menyerang sang pangeran. Hal tersebut sontak membuat sang pangeran sangat marah kepadanya. Dengan kesaktian yang di milikinya kemudian sang pangeran menyerang kearah kekasih gelap sang putri tersebut.

Secara tiba - tiba terjadilah angin puting beliung yang sangat dahsyat di daerah tersebut. Pohon - pohon tercabut dari akarnya, batu - batu beterbangan dan tempat itupun menjadi porak poranda. Lalu di balik kemurkaannya sang pangeran akhirnya mengutuk sang putri dan pasangannya menjadi batu. Akhirnya sang putri berubah menjadi sebongkah batu yang tampak terduduk dan kekasih gelapnya berubah menjadi sebongkah batu yang berdiri.

Setelah kejadian tersebut berlalu, sang pangeran masih sering mengunjungi tempat tersebut. Dia hanya ingin memastikan bahwa kedua batu tersebut masih berada di tempatnya semula. Sang Pangeran kemudian mengatakan kepada rakyatnya bahwa kejadian tersebut hendaknya menjadi sebuah pelajaran tentang pentingnya arti sebuah kejujuran dan pahitnya sebuah pengkhianatan. Desiran - desiran angin yang berhembus seperti suara orang yang sedang meratap adalah suara yang keluar dari kedua buah batu tersebut yang merupakan suara penyesalan dari sang putri dan juga kekasih gelapnya. Oleh karena hal tersebut pula maka masyarakat menamakan kedua batu tersebut dengan sebutan batu ratapan angin.

Terima kasih telah mampir ke blog saya.

Post a Comment for "Batu Ratapan Angin Dieng Plateu"